Baca
Pelarian ke Teluk Merah
Teluk Merah bukan sekadar kota nelayan. Setiap sudutnya menyimpan kisah cinta yang dikuburkan dalam botol-botol kaca atau dirajut dalam jaring nelayan. Lana memilih tempat ini sebagai persembunyian setelah pertunangannya dengan Arga—pengusaha properti kaya-raya—hancur berantakan. Arga terlalu sibuk mengoleksi lukisan antik daripada mengingat hari ulang tahunnya, sementara Lana hanya ingin suami yang mau mendengarkannya membaca puisi Rendra di tengah malam.
Di dermaga kayu yang reyot, Lana membuka kedai kopi kecil bernama Kalajengking Merah. Namanya diambil dari racun dendam dalam cerita rakyat setempat: "Cinta yang tak terbalas akan menyengat seperti sengat kalajengking". Setiap sore, ia duduk di ujung dermaga sambil melontarkan kertas-kertas puisi ke laut. "Laut akan membawamu pada orang yang tepat," bisiknya, tak menyadari bahwa ombak justru membawa puisi-puisinya ke kapal pesiar Rio yang sedang bersandar di balik karang.
Suatu senja, ketika langit berwarna jingga darah, Rio—pria bertopi kapten dengan mata seperti badai musim panas—muncul di hadapannya. Bau garam dan solar melekat pada jaket kulitnya yang usang. "Kau tahu di mana bisa menemukan diesel murah?" tanyanya sambil mengunyah daun sirih. Lana menunjuk ke arah gudang tua Pak Somad, tapi matanya tertarik pada luka di leher Rio yang berbentuk seperti bekas cakaran.
Hujan dan Rintihan di Gudang Kapal
Hujan menggigit kulit seperti jarum-jarum halus ketika Rio mendorong Lana ke dinding kayu kapal yang berderak. Bau solar bercampur aroma tubuh Rio yang asin—seperti angin laut yang telah menua—memenuhi rongga hidung Lana.
"Kita harus berhenti," bisik Rio, tapi lidahnya justru menelusuri lekuk telinga Lana yang sensitif. Jari-jarinya yang kasar dari tali tambang menyusup di bawah kaos tipis Lana, menyentuh pinggangnya yang bergidik. Di luar, petir menyambar membentuk siluet dua tubuh yang menyatu di dinding berkarat.
Lana mendesah ketika gigi Rio menggigit lembut tulang selangkanya. "Kau...kutukan," erangnya, tangan meraih rambut Rio yang basah hujan. Setiap sentuhan mereka seperti percikan listrik—keringat bercampur air hujan membuat kulit mereka saling menempel bagaikan perangkap kerang di karang.
Pakaian basah yang dilempar ke lantai kayu berdecit. Rio mengangkat tubuh Lana ke meja navigasi, peta-peta laut bertebaran jatuh seperti daun kering. Di antara desisan napas dan gemuruh ombak, Lana merasakan panas tubuh Rio menembus dinginnya udara malam. "Aku ingin kau mengingat ini," bisik Rio siap melangkah lebih jauh—tapi dering telepon satelit tentang kabar kematian Maya tiba-tiba memecah momen.
Cinta yang Ditanam di Antara Biji Kopi
Rio menjadi pelanggan tetap. Setiap pagi, ia datang dengan celana kargo berlumur cat, memesan kopi hitam pahit, dan duduk di bangku paling pojok sambil menatap laut. Lambat laun, Lana mengetahui kebiasaan anehnya: Rio selalu menulis sesuatu di buku notes hijau sebelum meninggalkan kedai, lalu merobek halamannya dan menyimpannya dalam kaleng roti bekas.
Suatu hari, ketika Rio lupa membawa kalengnya, Lana membuka salah satu kertas. Isinya sketsa wajahnya sedang tertawa, dengan tulisan: "Dia punya cara memegang cangkir kopi seolah sedang menggenggam jantung seseorang." Pipinya memerah. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak putus dengan Arga, ia menulis puisi baru: "Ada yang lebih berbahaya dari lautan: senyummu yang palsu tapi hangat seperti nikotin."
Hubungan mereka memanas ketika Rio menolong Lana memperbaiki atap kedai yang bocor. Di bawah hujan gerimis, tangan Rio tak sengaja menyentuh punggung Lana yang hanya berbikini. Nafas mereka saling bertautan. "Aku... harus pergi," geram Rio tiba-tiba, meninggalkan Lana basah kuyup dan bingung.
Malam Terakhir di Bawah Lentera Merah
Lampu minyak di gudang kopi berkedip-kedip seperti nafas tersengal. Lana berbaring di atas karung biji kopi arabika, rambutnya terurai seperti tinta tumpah di kanvas. Rio berlutut di antara kakinya yang terbuka, lidahnya menari di perut bawah Lana sementara jemarinya—yang masih beraroma tembakau dan garam—memainkan pusarnya.
"Kulihat surga di sini," gumam Rio, bibirnya bergerak turun seperti pelayar yang mengejar horizon. Lana menjerit kecil ketika gigitan lembut di paha dalam membuat darahnya mendidih. Biji-biji kopi berhamburan, aromanya yang pekat bercampur bau tubuh mereka yang menggila.
Rio memasukkan dua jari ke mulut Lana. "Hisap," perintahnya parau, "seperti kau menghisap nyawaku tiap kali tersenyum." Lana mematuhi, lidahnya melingkar di jari-jari Rio yang berotot sementara tangannya meraba kawat berduri bekas luka di dada Rio.
Saat Rio akhirnya masuk ke dalamnya, Lana menggigit bahunya sampai berdarah. Rasa sakit dan nikmat berpadu seperti gula dan garam. Gerakan mereka mengikuti irama ombak di luar—lambat tapi dalam, kemudian cepat dan tak terkendali seperti tsunami. Di dinding, bayangan mereka bergoyang bagaikan penyu yang terjebak jaring.
Di Tengah Badai yang Mengamuk
Di kabin kapal yang bergoyang liar, Lana menelanjangi Rio dengan giginya. Setiap kancing baju yang terlepas meninggalkan bekas gigitan di kulit coklatnya. Rio mendesah ketika Lana menjilat bekas luka operasi di dadanya—lidahnya yang hangat kontras dengan dinginnya keringat ketakutan.
"Kau ingin menghancurkan kita berdua?" tanya Rio sambil mendorong Lana ke jendela kabin yang bergetar. Tangan besar itu meremas payudara Lana dengan tekanan yang membuatnya mengerang. Di luar, ombak setinggi 5 meter menghantam lambung kapal, air asin menyembur melalui celah-celah pintu.
Lana membalikkan posisi, sekarang dia di atas dengan rambut basah menempel di punggung Rio. "Biarkan laut yang menghakimi kita," bisiknya sambil bergerak perlahan, mata tertutup menikmati setiap sentimeter panas yang menyatu. Rio meraih pinggulnya, mengatur ritme yang semakin ganas. Kayu kabin berderit mengikuti hentakan mereka, suaranya tenggelam dalam raungan angin.
Ketika puncak datang, Rio menggumam nama Lana seperti doa sementara Lana menjerit histeris—suaranya pecah oleh guntur yang menggelegar. Mereka jatuh bersamaan ke lantai basah, tubuh masih terkunci erat sementara kapal oleng seperti ingin menenggelamkan momen tak bermoral ini.
Bayangan Maya
Arga tiba-tiba muncul di kedai dengan setumpuk surat usang. "Kau tertipu oleh bajak laut berhati kotor!" hardiknya. Surat-surat itu berisi puisi cinta Rio untuk Maya—wanita yang disebutnya sebagai "bintang di tengah kabut". Lana membaca salah satunya dengan getir: "Kulitmu lebih hangat dari matahari terbit, Maya. Aku akan membunuh siapa pun yang memisahkan kita."
Tapi Arga menyembunyikan satu fakta: Ia sengaja menyogok anak buah Rio untuk mencuri kaleng surat tersebut. Dendamnya pada Lana belum padam. "Kau akan kembali padaku ketika menyadari pria ini hanya sampah," bisiknya licik.
Malam itu, Lana menghadapi Rio di kapalnya. "Siapa Maya?!" teriaknya sambil melempar foto Rio dan wanita berambut ikal di Pantai Kuta. Rio diam, tapi matanya basah. "Dia... bagian dari hutang nyawa yang tak bisa kubayar," jawabnya samar.
Badai, Darah, dan Pengakuan
Badai 12 skala Beaufort menerjang ketika Lana—yang kini hamil 4 bulan—menemukan transfer uang Rio ke rekening Maya. Di atas kapal yang oleng, pertengkaran mereka mencapai klimaks. "Aku butuh uang untuk operasi jantungmu!" teriak Rio sambil menahan tubuh Lana yang terpeleset.
Tapi Lana sudah kehilangan kepercayaan. "Kau lebih memilih dia!" lemparnya kalung emas pemberian Rio ke laut. Saat Rio mencoba mengambilnya, kabel layar patah menghantam kepalanya. Darah mengucur deras sementara Lana berjuang menarik tubuh Rio yang pingsan ke kabin. Di tengah kepanikan, radio darat berbunyi: "Posko bencana Bali melaporkan Maya Wijaya meninggal dalam kecelakaan mobil..."
Surat dari Alam Baka
Setahun kemudian, Lana membuka koper tua peninggalan Rio. Di dalamnya, ia menemukan surat wasiat Maya yang ternyata adalah saudara kembar Rio: "Untuk Rian (nama asli Rio), jual kapal untuk transplantasi jantungku. Maaf telah memaksamu berpura-pura menjadi Rio, kekasihku yang tewas di laut..."
Di bawah surat itu ada cincin berlian dengan ukiran "Untuk Lana – maafkan semua kebohongan cintaku". Tangis Lana pecah ketika melihat foto Rio/Maya kecil di panti asuhan.
Di dermaga, seorang pria bertopi nelayan muncul. "Aurora perlu ayah," bisik suara serak yang tak asing. Tapi ketika Lana berbalik, hanya ada angin yang membawa daun kering bertuliskan puisi Rio: "Aku lebih memilih menjadi hantu daripada kehilangan senyummu."