Misteri Taman Okubo: Pekerja Seks di Jepang dan Dampak Wisatawan Asing -->

Advertisement

Misteri Taman Okubo: Pekerja Seks di Jepang dan Dampak Wisatawan Asing

Berita Sesuai Mood
Wednesday, April 23, 2025

 


Fenomena Pekerja Seks di Jepang Pasca-Pandemi

Setelah pandemi COVID-19, Jepang mengalami lonjakan dalam industri seks, terutama di kawasan Taman Okubo yang terkenal. Di sini, pekerja seks (PSK) melayani turis asing dari berbagai negara, termasuk Korea Selatan, China, dan Eropa. Meskipun prostitusi tidak sepenuhnya dilarang, ada batasan hukum yang membuat situasi ini semakin kompleks. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang kondisi pekerja seks di Jepang, tantangan yang mereka hadapi, dan dampak dari meningkatnya permintaan wisatawan.

Kondisi Hukum dan Praktik Prostitusi di Jepang

Di Jepang, prostitusi secara teknis tidak dilarang, tetapi ada batasan yang ketat mengenai aktivitas yang diperbolehkan. Seks oral, seks anal, dan tindakan lain yang tidak melibatkan hubungan seksual vaginal tidak dianggap sebagai prostitusi. Jika batasan ini dilanggar, sanksi hukum akan dikenakan kepada PSK, bukan pelanggan. Hal ini menciptakan ketidakadilan yang merugikan perempuan lokal, yang sering kali terjebak dalam situasi sulit.

Preferensi Klien: Mengapa Pekerja Seks Memilih Turis Asing?

Ria, seorang PSK yang beroperasi di Taman Okubo, mengungkapkan bahwa ia lebih memilih klien asing. "Mereka tidak menawar dan kecil kemungkinan mereka adalah polisi," ujarnya. Ria bekerja tanpa perantara dan langsung membawa pelanggan ke love hotel di sekitar lokasi. Harga yang ditawarkan berkisar antara 15.000 hingga 30.000 yen (sekitar Rp 1,7 juta hingga Rp 3,5 juta), dan bisa lebih murah tergantung pada kondisi pasar.

Dampak Ekonomi dan Sosial Pasca-Pandemi

Menurut Azu, seorang PSK berusia 19 tahun, ia bisa mendapatkan 20.000 yen (sekitar Rp 2,4 juta) per jam untuk klien dengan kondom. Namun, banyak perempuan muda terjerat dalam industri ini akibat tekanan ekonomi yang semakin meningkat. Arata Sakamoto, kepala organisasi nirlaba Rescue Hub, menyatakan bahwa banyak dari mereka mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental, serta menjadi sasaran pelecehan dan eksploitasi digital.

Meningkatnya Permintaan Wisatawan Asing

Permintaan dari wisatawan asing semakin meningkat, terutama setelah konten viral di platform seperti TikTok dan Bilibili. Hal ini memperburuk kondisi pekerja seks, yang sering kali terpaksa menerima tawaran yang lebih rendah dari pria Jepang yang mencari harga murah. "Harga murah itu disebabkan oleh biaya hidup dan penurunan daya beli," kata Ria.

Kampanye Kesadaran dan Perlindungan Perempuan

Sejumlah aktivis hak perempuan menyerukan perlunya kampanye wisata aman dan etis untuk meningkatkan kesadaran terhadap dampak eksploitasi seksual. Kampanye ini diharapkan mencakup edukasi dalam berbagai bahasa di bandara, hotel, dan kawasan wisata populer. "Ketimpangan ini bisa ditekan jika ada penegakan hukum terhadap pelanggan serta penyuluhan yang jelas sejak kedatangan mereka di Jepang," tambah Arata.

Peran Kepolisian dan Harapan untuk Masa Depan

Kepolisian Tokyo telah meningkatkan patroli sejak akhir tahun lalu, tetapi belum memberikan tanggapan resmi terkait meningkatnya aktivitas pekerja seks. Para aktivis berharap wisatawan asing dapat berperan aktif dalam mencegah eksploitasi dengan tidak menjadi bagian dari permintaan terhadap layanan seks komersial. "Ketika permintaan berhenti, maka perempuan tak lagi perlu menjual tubuh mereka," kata Arata.

Kesimpulan: Menciptakan Masa Depan yang Lebih Baik untuk Pekerja Seks di Jepang

Kondisi pekerja seks di Jepang, terutama di Taman Okubo, mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh banyak perempuan di seluruh dunia. Dengan meningkatnya permintaan dari wisatawan asing, penting untuk menciptakan kesadaran dan penegakan hukum yang lebih baik untuk melindungi hak-hak perempuan. Hanya dengan cara ini, kita dapat berharap untuk melihat perubahan positif dalam industri ini dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi pekerja seks di Jepang.